Selasa, 03 Des 2024
  • SMK Nu Kota Tasikmalaya - SMK Center Of Exelence Tahun 2020 - SMK PK Tahun 2021 - Sekolah Penggerak Tahun 2021 - SMK Pusat Keunggulan Skema Pemadanan Dukungan Industri 2022

Mulih Dilik ke Udik

Mulih Dilik ke Udik

oleh Dhika FS Ahmad

‘Biasa’ akan bertransformasi menjadi suatu tradisi atau budaya manakala skalanya sering dilakukan, tentunya fakta ini berlaku di Nusantara. Salah satu buktinya sudah dijalankan atau mungkin akan kita alami dalam beberapa hari ke depan. Ya, mudik. Lebaran terasa hampa tanpa mudik ke kampung halaman sama seperti halnya lebaran tanpa ketupat dan THR. Tetapi, kehampaan itu pernah menimpa kita semua di empat tahun silam, ketika virus korona masih merajalela di setiap penjuru kota. Kini, penulis merasa gembira, ketika setiap media berita dan stasiun televisi dengan gencar menyiarkan informasi tentang arus mudik, karena vibes akhir Ramadan semakin terasa. Ketika menyimak dan membaca berita tersebut, terbesit rasa kepo penulis akan hal mudik. Sebenarnya siapa yang pertama kali mencetuskan ‘mudik’ sebagai makna dari pulang kampung halaman ketika Idulfitri? Lalu, bagaimana mudik bisa disepakati menjadi tradisi? Yuk, kita kupas bersama-sama.

Mudik menjadi salah satu tradisi masyarakat Indonesia menjelang hari raya keagamaan, hari besar nasional, bahkan libur panjang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ‘mudik’ memiliki dua makna yaitu pulang ke kampung halaman dan berlayar ke udik (hulu sungai, pedalaman). Hal ini diperjelas lagi oleh Ivan Lanin seorang Wikipediawan bahwa kata mudik sudah digunakan pada naskah “Hikayat Raja Pasai” yang bertarikh sekitar 1390. Mudik dalam naskah tersebut serupa dengan arti dalam kamus yaitu pergi ke hulu sungai. Tentunya setiap hal di dunia ini berevolusi secara perlahan begitu pun dengan kata mudik yang mulanya bermakna pergi ke hulu sungai berubah menjadi pergi ke kampung asal. Keberagaman istilah mudik berbeda dari setiap daerah. Misalnya menurut orang Jawa mudik berasal dari kata Mulih Dilik yang berarti pulang dulu, hanya sekejap menengok keluarga setelah mereka melanglang buana di tanah perantauan. Sementara itu, menurut masyarakat Betawi mudik dimaknai sebagai kembali ke udik, karena dalam Bahasa Betawi udik bermakna kampung. Ungkapan tersebut tercipta ketika orang Betawi melihat orang Jawa akan pulang kampung, dengan mengatakan mereka akan kembali ke udik.

Dilihat dari sisi sejarah, ternyata mudik sudah dilakukan pada saat zaman Kerajaan Majapahit dan Mataram Islam. Era itu, wilayah kekuasaan Majapahit terbentang luas hingga ke Semenanjung Malaya dan Sri Lanka, sehingga saat itu pemerintahan Kerjaan Majapahit menugaskan pejabat ke setiap penjuru wilayah kekuasaan. Kemudian, ketika hendak menghadap Raja untuk melaporkan tugasnya, tentunya mereka (pejabat) mengunjungi kampung halamannya. Hal inilah yang berkaitan dengan tradisi mudik. Sama halnya pejabat di era Kerajaan Mataram Islam yang melakukan hal serupa ketika Idulfitri. Istilah mudik mulai populer kembali pada era 1970-an. Tradisi ini sering dilakukan oleh perantau di berbagai daerah untuk kembali ke kampung halamannya dan berkumpul bersama dengan keluarga, terutama saat Lebaran. Terlepas dari latar belakang mudik, kita perlu maknai kembali tradisi ini. Sejatinya, mudik merupakan aktivitas mengunjungi dan berkumpul bersama keluarga. Lebih dari itu, silakan pemudik bisa tafsirkan kembali secara mandiri.

Selamat Idulfitri 1445 H. Mohon Maaf Lahir Batin.

admin

Tulisan Lainnya

0 Komentar

KELUAR
Need Help?