oleh Dhika FS Ahmad
Soal agama kita toleransi, tapi masalah takjil kita saingan
Untukmu agamamu dan untukku agamaku, tetapi takjilmu juga takjilku
Kini seruan tersebut ramai diperbincangkan di berbagai media sosial. Warganet gencar memviralkan seruan ini, salah satunya dengan memparodikan fenomena tersebut dalam berbagai sudut pandang. Memang tidak ada aturan secara tertulis tetapi umat muslim di Indonesia serempak menyepakati bahwa ngabuburit dimulai pukul setengah lima sore yang bisa diisi dengan salah satu kegiatan yaitu berburu takjil. Hal ini secara tidak langsung menjadi sebuah aturan kebiasaan. Tetapi kini aturan tersebut dipatahkan oleh nonis yang antusias berburu takjil mulai pukul tiga sore. Ya dapat kita bayangkan sendiri mereka (nonis) memborong takjil yang masih hangat dan segar, sedangkan kita hanya disisakan remahan saja. Begitu kiranya keluhan warganet ketika mengetahui alasan mengapa kita selalu kehabisan takjil (jajanan) ketika ngabuburit. Nyeleneh, sepele, dan menggelitik tetapi memiliki makna yang sangat indah. Oleh karena itu, yuk kita kupas bersama-sama.
Istilah takjil berasal dari bahasa Arab yaitu ‘ajila yang berarti menyegerakan. Istilah ini kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan penyesuaian ejaan dan lafal. ‘Takjil’ juga sudah masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang memiliki makna mempercepat (dalam berbuka puasa). Berawal dari sinilah takjil kemudian mengandung perintah untuk tidak menunda-nunda saat buka puasa. Namun, seiring perkembangan zaman makna takjil mengalami pergeseran sehingga takjil dianggap sebagai makanan pembuka saat magrib atau buka puasa tiba.
Pun dengan kudapan takjil. Hadits Nabi Muhammad Saw, “Apabila kamu ingin berbuka, berbukalah dengan kurma. Jika tidak ada, minumlah air putih karena ia suci.” (HR At-Tirmidzi). Akan tetapi, masyarakat Indonesia gemar menjadikan kebiasaan menjadi sebuah tradisi. Manakala ditelusuri sejarahnya, hal ini sudah tercantum dalam laporan De Atjehers yang ditulis oleh Snouck Hurgronje pada akhir abad ke-19 yang menyatakan bahwa masyarakat lokal Aceh telah mengadakan buka puasa yang disegerakan (takjil) di masjid secara beramai-ramai dengan bubur pedas. Peristiwa lain menjelaskan bahwa takjil menjadi salah satu sarana dakwah Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Jawa sekitar abad ke-15. Bahkan terdapat sebuah artikel yang menyatakan bahwa tradisi takjil dilakukan di Masjid Kauman Yogyakarta pada 1950-an. Hingga sampai saat ini kudapan takjil menjadi sangat bervariasi mulai dari yang digoreng, direbus, gurih, manis, hingga segala jenis makanan ringan akhirnya masuk ke dalam daftar menu takjil yang siap disantap saat berbuka. Konklusinya makna takjil berevolusi dari suatu perbuatan (verba) menjadi sebuah benda (nomina).
Secara implisit fenomena berburu takjil berkaitan dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu toleransi. Pasalnya mereka sangat membantu umat muslim yang berjualan makanan sehingga dagangannya cepat laris. Mereka tidak hanya sekadar memburu takjil untuk keperluan perut atau konten, tetapi ada juga yang berburu takjil untuk dibagikan kembali. Selain itu, vibes Ramadan kembali terasa hangat yang sebelumya sempat padam di tiga tahun silam. Tidak sedikit warganet yang berkomentar positif mengenai fenomena ini, terlepas dari sekat keyakinan bahkan ada yang sampai merasa sangat senang hingga menyimpulkan salah satu keberkahan Ramadan.
Semoga ‘keberkahan’ toleransi bisa terjaga bukan hanya dalam berburu takjil tetapi bisa terimplementasikan secara nyata di kehidupan sehari-hari serta dalam kegiatan indah lainnya.
Komentar Terbaru